Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Rabu, 14 November 2012

Seputar Masalah Aqiqah (Bagian Kedua)

بسم الله الرحمن الرحيم

Kali ini kita akan melanjutkan pembahasan lanjutan mengenai pembahasan beberapa masalah yang berkaitan dengan aqiqah. Pada bagian pertama kita telah membahas tiga permasalahan. Adapun sekarang kita akan membahas lima permasalahan lainnya.

Jika Bayi Meninggal Sebelum Hari Ketujuh, Apakah Perlu Diaqiqah?

Apabila bayi meninggal sebelum berusia tujuh hari maka tetap dianjurkan untuk melakukan aqiqah untuknya berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menerangkan tentang anjuran untuk beraqiqah seperti hadits Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم السابع ويحلق رأسه ويسمى

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, dilakukan penyembelihan untuknya pada hari ketujuh (dari hari kelahirannya), dicukur rambutnya, dan diberikan nama.” [HR Abu Daud (2838) dan Ibnu Majah (3165). Hadits shahih]

Alasan lainnya adalah karena sebab aqiqah itu disyariatkan adalah karena peristiwa kelahiran bayi. Jadi, meskipun bayi itu terlanjur wafat sebelum hari ketujuh maka dia tetap diaqiqahi karena dia sudah pernah dilahirkan. Berbeda halnya dengan bayi yang meninggal di dalam kandungan ibunya.

Ini adalah pendapat para ulama dari kalangan mazhab Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga didukung oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan Ibnu Baz rahimahumallah.

Jika Dia Belum Diaqiqah Oleh Orang Tuanya Sampai Besar

Ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri setelah beliau diangkat menjadi nabi. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad yang sangat lemah karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Muharrar yang haditsnya tidak diterima (matruk). Diriwayatkan pula oleh Ath Thabrani namun haditsnya juga lemah karena di sanadnya terdapat Abdullah ibnul Mutsanna. Dia adalah seorang yang lemah haditsnya.

Kebanyakan ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika seseorang belum pernah diaqiqahkan oleh orang tuanya sampai dia besar maka dia tidak perlu melakukan aqiqah untuk dirinya karena perintah aqiqah itu adalah untuk orang tuanya, bukan untuk dirinya sebagai anak.

Namun Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang tetap ingin melakukannya maka itu tidak aku benci.” Dalam kesempatan lainnya beliau berkata: “Barangsiapa yang melakukannya maka itu bagus.”

Adapun mazhab Syafi’iyyah dalam hal ini terbagi ke dalam dua pendapat. Sebagian dari mereka menganjurkannya dan sebagian lainnya tidak menganjurkannya.

Bolehkah Aqiqah Dengan Selain Kambing?

Pada asalnya, Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan kepada kita untuk melakukan aqiqah dengan menyembelih kambing sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah:

عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة

“Aqiqah untuk anak lelaki adalah dua ekor kambing dan untuk perempuan adalah seekor kambing.” [HR Abu Daud (2834). Hadits shahih]

Namun, bila dia ingin beraqiqah dengan selain kambing ini diperbolehkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyyah, Asy Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan perbuatan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang melakukan aqiqah dengan menyembelih unta. Selain itu mereka beralasan bahwa menyembelih unta dan sapi itu lebih besar pahalanya daripada menyembelih kambing.

Namun disyaratkan tidak boleh adanya perkongsian antara beberapa orang di dalam unta dan sapi aqiqah tersebut seperti yang diperbolehkan pada unta dan sapi untuk qurban.

Mengoleskan Darah Hewan Aqiqah Ke Kepala Bayi

Ada sebuah hadits yang berbunyi sebagai berikut:

كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم السابع ويحلق رأسه ويدمى

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, dilakukan penyembelihan untuknya pada hari ketujuh (dari hari kelahirannya), dicukur rambutnya, dan dioleskan darah.” [HR Abu Daud (2837)]

Hadits ini hukum asalnya adalah shahih kecuali lafazh (ويدمى) yang artinya “dan dioleskan darah”. Lafazh ini adalah kekeliruan di dalam penulisan (tashhif) karena yang benar adalah bukan (ويدمى) akan tetapi yang benar adalah (ويسمى) yaitu “dan diberikan nama”.

Selain itu, ternyata perbuatan ini merupakan perbuatan orang Jahiliyyah terdahulu ketika mengaqiqahi anak-anak mereka sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Buraidah riwayat Abu Daud (2843). Sanad haditsnya adalah hasan.

Berhubung ini adalah perbuatannya masyarakat Jahiliyyah dan hadits mengoleskan darah ini adalah lemah maka ia tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum sehingga tidak perlu untuk dilakukan.

Bersedekah Perak Seberat Timbangan Rambut Bayi Yang Dicukur

Di antara sunnah aqiqah adalah bersedekah perak seberat timbangan rambut bayi yang dicukur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan perintahnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada Fathimah untuk melakukan hal tersebut ketika melakukan aqiqah untuk Al Hasan dan Al Husain. Hadits ini adalah hadits hasan karena banyaknya jalur periwayatan hadits ini. Silakan melihat kitab Irwaul Ghalil (1175) karya Al Albani rahimahullah.

Demikianlah pembahasan beberapa permasalahan penting yang berkaitan dengan aqiqah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Fathul ‘Allam Syarhu Bulughil Maram karya Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba’dani hafizhahullahu ta’ala.

Jumlah tampilan:



Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !